Pada pertengahan abad ke
sepuluh seorang ilmuwan Mesir di Iskandaria yang bernama Al Hasan (965-1038)
mengemukakan pendapat bahwa mata dapat melihat benda-benda di sekeliling karena
adanya cahaya yang dipancarkan atau dipantulkan oleh benda-benda yang
bersangkutan masuk ke dalam mata. Teori ini akhirnya dapat diterima oleh orang
banyak sampai sekarang ini. Beberapa teori-teori yang mendukung pendapat Al
Hasan diantaranya adalah:
a.
Teori Emisi atau Teori Partikel
Sir
Isaac Newton (1642-1727) merupakan ilmuwan berkebangsaan Inggris yang
mengemukakan pendapat bahwa dari sumber cahaya dipancarkan partikel-partikel
yang sangat kecil dan ringan ke segala arah dengan kecepatan yang sangat besar.
Bila partikel-partikel ini mengenai mata, maka manusia akan mendapat kesan
melihat benda tersebut.
Alasan
dikemukakanya teori ini adalah sebagai berikut:
·
Karena
partikel cahaya sangat ringan dan berkecepatan tinggi maka cahaya dapat
merambat lurus tanpa terpengaruh gaya gravitasi bumi.
·
Ketika
cahaya mengenai permukaan yang halus maka cahaya akan akan dipantulkan dengan
sudut sinar datang sama dengan sudut sinar pantul sehingga sesuai dengan hukum
pemantulan Snellius. Peristiwa pemantulan ini dijelaskan oleh Newton dengan
menggunakan bantuan sebuah bola yang dipantulkan di atas bidang pantul.
·
Alasan
berikutnya adalah pada peristiwa pembiasan cahaya yang disamakan dengan
peristiwa menggelindingnya sebuah bola pada papan yang berbeda ketinggian yang
dihubungkan dengan sebuah bidang miring. Dari permukaan yang lebih tinggi bola
digelindingkan dan akan terus menggelinding melalui bidang miring sampai
akhirnya bola akan menggelinding di permukaan yang lebih rendah. Jika diamati
perjalanan bola, maka sebelum melewati bidang miring lintasan bola akan
membentuk sudut α terhadap garis tegak lurus pada bidang miring. Setelah
melewati bidang miring lintasan bola akan membentuk sudut β terhadap garis
tegak lurus pada bidang miring. Jika permukaan atas dianggap sebagai udara dan
permukaan bawah dianggap sebagai air serta bidang miring merupakan batas antara
udara dan air, gerak bola dianggap sebagai jalannya pembiasan cahaya dari udara
ke air, maka Newton menganggap bahwa kecepatan cahaya dalam air lebih besar
dari pada kecepatan cahaya dalam udara.
Pendapat ini
masih bertahan hingga akhirnya seorang ahli fisika Prancis, Jean Focault (1819
– 1868) melakukan percobaan tentang pengukuran kecepatan cahaya dalam berbagai
medium. Dalam percobaannya Jeans Focault mendapatkan kesimpulan bahwa kecepatan
cahaya dalam air lebih kecil dari pada kecepatan cahaya dalam udara.
b.
Teori Gelombang
Menurut Christian
Huygens (1629-1695) seorang ilmuwan berkebangsaan Belanda, bahwa cahaya pada
dasarnya sama dengan bunyi dan berupa gelombang. Perbedaan cahaya dan bunyi
hanya terletak pada panjang gelombang dan frekuensinya.
Pada teori ini
Huygens menganggap bahwa setiap titik pada sebuah muka gelombang dapat dianggap
sebagai sebuah sumber gelombang yang baru dan arah muka gelombang ini selalu
tegak lurus tehadap muka gelombang yang bersangkutan. Pada teori Huygens ini
peristiwa pemantulan, pembiasan, interferensi, ataupun difraksi cahaya dapat
dijelaskan secara tepat, namun dalam teori Huygens ada kesulitan dalam
penjelasan tentang sifat cahaya yang merambat lurus.
c.
Teori Elektromagnetik
Percobaan
James Clerk Maxwell (1831 – 1879) seorang ilmuwan berkebangsaan Inggris
(Scotlandia) menyatakan bahwa cepat rambat gelombang elektromagnetik sama
dengan cepat rambat cahaya yaitu 3x108 m/s, oleh karena itu Maxwell
berkesimpulan bahwa cahaya merupakan gelombang elektromagnetik. Kesimpulan
Maxwell ini di dukung oleh :
·
Seorang
ilmuwan berkebangsaan Jerman,
Heinrich Rudolph Hertz
(1857 – 1894) yang membuktikan bahwa gelombang elektromagnetik merupakan
gelombang tranversal. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa cahaya dapat
menunjukkan gejala polarisasi.
·
Percobaan
seorang ilmuwan berkebangsaan Belanda, Peter Zeeman (1852 – 1943) yang
menyatakan bahwa medan magnet
yang sangat kuat dapat
berpengaruh terhadap berkas cahaya.
·
Percobaan
Stark (1874 – 1957), seorang ilmuwan berkebangsaan Jerman yang mengungkapkan
bahwa medan listrik yang sangat kuat dapat mempengaruhi berkas cahaya.
d.
Teori Kuantum
Teori
kuantum pertama kali dicetuskan pada tahun 1900 oleh seorang ilmuwan
berkebangsaan Jerman yang bernama Max Karl Ernst Ludwig Planck (1858 – 1947).
Dalam percobaannya Planck mengamati sifat-sifat termodinamika radiasi
benda-benda hitam hingga ia berkesimpulan bahwa energi cahaya terkumpul dalam
paket-paket energi yang disebut kuanta atau foton. Dan pada tahun 1901 Planck
mempublikasikan teori kuantum cahaya yang menyatakan bahwa cahaya terdiri dari
peket-paket energi yang disebut kuanta atau foton. Akan tetapi dalam teori ini
paket-paket energi atau partikel penyusun cahaya yang dimaksud berbeda dengan
partikel yang dikemukakan oleh Newton . Karena foton tidak bermassa sedangkan
partikel pada teori Newton memiliki massa
Pernyataan
Planck ternyata mendapat dukungan dengan adanya percobaan Albert Einstein pada
tahun 1905 yang berhasil menerangkan gejala fotolistrik dengan menggunakan
teori Planck. Fotolistrik adalah peristiwa terlepasnya elektron dari suatu
logam yang disinari dengan panjang gelombang tertentu. Akibatnya percobaan
Einstein justru bertentangan dengan pernyataan Huygens dengan teori gelombangnya.Pada
efek fotolistrik, besarnya kecepatan elektron yang terlepas dari logam ternyata
tidak bergantung pada besarnya intensitas cahaya yang digunakan untuk menyinari
logam tersebut. Sedangkan menurut teori gelombang seharusnya energi kinetik
elektron bergantung pada intensitas cahaya.
Kemudian dari
seluruh teori-teori cahaya yang muncul dapat disimpulkan bahwa cahaya mempunyai
sifat dual (dualisme cahaya) yaitu cahaya dapat bersifat sebagai gelombang
untuk menjelaskan peristiwa interferensi dan difraksi tetapi di lain pihak
cahaya dapat berupa materi tak bermassa yang berisikan paket-paket energi yang
disebut kuanta atau foton sehingga dapat menjelaskan peristiwa efek
fotolistrik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar